HARKONAS & ‘Polemik Ijazah’ : Melihat Negara Dari Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
20 APRIL telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012, sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas), latarbelakangnya karena tanggal 20 April 1999 Undang- Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disahkan dan diberlakukan setahun kemudian. Selain Harkonas, tanggal 20 April 2025 ini ada dua peristiwa penting lain, yaitu Presiden Prabowo akan menandatangani UU TNI yang sudah disahkan DPR pada 20 Maret lalu dan 6 bulan evaluasi Pemerintahan/Kabinet Prabowo-Gibran sejak pelantikannya tanggal 20 Oktober lalu.
Adalah Shidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (2000:1) menyebutkan, Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum Perlindungan dengan Konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat "konsumen".
Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan pengertian jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen. Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dll. Konsumen adalah seluruh rakyat Indonesia yang menggunakan/memakai (mengkonsumsi) produk barang dan/atau jasa (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, jasa transportasi, dll).
Negara/pemerintah menyediakan barang dan/atau jasa untuk digunakan oleh rakyat sebagai konsumen. Untuk memperoleh barang dan/atau jasa tersebut, rakyat/konsumen selain membayar harga produk itu, juga membayar berbagai pajak.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang disediakan oleh negara/pemerintah itu rakyat/konsumen harus melakukan dua kali pembayaran, yaitu membayar harga/tarif barang dan/atau jasa tersebut dan membayar berbagai pajak.
Dengan demikian konsumen memiliki peranan penting dalam struktur perekonomian suatu bangsa dan disadari atau tidak, bahwa setiap warga negara adalah konsumen. Dalam perspektif yang lebih luas, bahkan ada anggapan bahwa kita adalah konsumen dari produk politik yang disebut "hukum" (Uraian mengenai hal ini, dapat dibaca buku Edmond Cahn, "Law in the Consumer Perpective," University of Pennsylvania Law Review, No.112, 1963 : 1-27)
Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK tentang Pelaku Usaha disebutkan : Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Melihat redaksi Penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK tersebut, selain BUMN termasuk pelaku usaha, jika menggunakan teori Penafsiran Hukum Gramatikal, maka kata "dan lain-lain" dapat ditafsirkan bahwa yang termasuk pelaku usaha juga adalah negara/pemerintah.
Di sisi lain, jika kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi dipadankan dengan istilah bisnis (business), maka di dalam Black's Law Dictionary dinyatakan bahwa 'Business' adalah Employment, occupation, profession, or commercial activity engaged in for gain or livelihood (Pekerjaan, profesi, atau kegiatan komersial terkait dengan keuntungan atau mata pencaharian). Jadi, aktivitas bisnis atau kegiatan usaha dalam pelbagai bidang ekonomi tidak selalu mencari laba, tetapi dapat juga nirlaba, yaitu untuk mata pencaharian.
Di samping itu, Mochtar Kusumaatmadja, menyebutkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu dengan yang lain, dan berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup masyarakat. Sedangkan menurut Az Nasution hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. (Az Nasution, 2011:37)
Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu kajian hukum ekonomi, di mana pembahasannya tidak bisa dilepaskan dengan bidang hukum privat (hukum perdata) maupun bidang hukum publik (hukum pidana dan hukum administrasi negara). Hal ini mengingat bahwa dalam hukum privat maupun publik yang juga mengatur dan melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan UUPK merupakan payung hukum (umbrella act) perlindungan konsumen di Indonesia, serta UUPK juga sebagai sumber utama Hukum Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan manusia/kemanusiaan, oleh karena itu menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia termasuk para pendiri bangsa Indonesia sejak kemerdekaan untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat melalui upaya perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum bagi konsumen. Hal ini dapat dilihat dari Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang menyatakan kesejahteraan diwujudkan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Sejatinya, membangun sebuah konsep negara kesejahteraan merupakan implementasi dari konsep welfare state yang secara singkat dapat didefinisikan bahwa pemerintah memegang peranan penting dalam menjamin kesejahteraan bagi setiap warga negaranya. Sedangkan ciri dasar konsep Welfare state adalah adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam hal ini termasuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan para konsumen.
Untuk itu, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat (terkait konsep welfare state), pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah UU Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, perlindungan atas kesejahteraan konsumen itu juga diatur secara internasional, dimana United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) mengesahkan Guidelines for Consumer Protection, Hak konsumen menurut International Organization of Consumers Union (“IOCU”), dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Sebelumnya, John F. Kennedy mengemukakan 4 (empat) hak konsumen, yaitu: 1. The right to safety, (hak memperoleh keamanan). 2.The right to choose, (hak untuk memilih). 3.The right to be informed, (hak mendapatkan informasi). dan 4. The right to be heard, (hak untuk didengar).
Dalam praktiknya, seringkali posisi pemerintah/negara tidak jelas atau bias, bahkan tumpang tindih, apakah sedang melakukan fungsi Regulator atau sebagai Pelaku Usaha. Contoh, yang sangat bias apakah pemerintah sebagai regulator atau pelaku usaha bisa dilihat paling tidak pada saat memasuki 2025 konsumen Indonesia dibuat resah (nasibnya tidak baik-baik saja), setelah Menkeu Sri Mulyani mengumumkan kenaikan PPN 12 %.
Kemudian menyusul kasus Pagar Laut yang menyebabkan persediaan ikan berkurang, gas 3 kg tidak boleh dijual di pedagang eceran sehingga memakan korban meninggal dalam mengantre, kasus pertamax oplosan & korupsi Pertamina, minyak goreng tidak sesuai takaran, gas dan beras oplosan, pupuk dan oli palsu, dugaan korupsi di PLN, harga beras, kebijakan gas elpiji, tarif listrik, tarif jalan tol, biaya haji/umroh, masker/obat/vaksin/alkes masa Covid, dll.
Keterlibatan sedikitnya 5 menteri dan beberapa pejabat tinggi negara dalam kasus korupsi terkait komoditas kebutuhan rakyat banyak. Rupiah dan IHSG anjlok mendekati level terendah. Kondisi dan kebijakan-kebijakan tersebut sungguh membebani rakyat, sementara gelombang PHK massal terus terjadi diantaranya akibat kebijakan efisiensi anggaran yang menambah beban sosial cukup pelik.
Di sisi lain, komunikasi politik/publik pemerintahan saat ini tidak begitu baik, seperti tanggapan para pejabat negara terhadap kritikan masyarakat yang responnya dianggap tidak bijaksana : ndasmu. Cabai mahal, jangan makan makanan yang pedas. Menanggapi aksi IndonesiaGelap ditanggapi dengan komentar 'kau yang gelap' bukan Indonesia. Menanggapi #Kabur AjaDulu, "Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi." Teror kepala babi dan Bangkai Tikus, masak saja. Preman minta THR, itu hal yang biasa tidak perlu dimasalahkan. Sebutan Otak Kampungan.
Sikap dan pernyataan-pernyataan itu menunjukkan negara tidak hadir, tidak respek dan tidak empati terhadap problem rakyat. Tentunya komunikasi politik seperti ini akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Di sisi lain tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat, tersumbat oleh kepentingan elit- elit politik.
Terkait kebijakan-kebijakan perlindungan konsumen (Politik Hukum Perlindungan Konsumen) yang membebani konsumen di atas, dan Polemik Keaslian Ijazah mantan Presiden ke-7 dalam perspektif Hukum Perlindungan Konsumen, ada beberapa ketentuan dalam UUPK yang perlu diperhatikan yang terkait Pelaku Usaha, diantaranya mengenai : Kewajiban Pelaku Usaha (Psl.7), Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha (Bab IV), Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Bab VI), Penyelesaian Sengketa (Bab X), Penyidikan (Bab XII), Sanksi (Bab XIII). Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK menyebutkan : Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Merujuk ketentuan di atas secara yuridis, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) berfungsi sebagai : 1. pegangan bagi pejabat administrasi negara untuk menjalankan fungsinya; 2. merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking); dan 3. sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. (Ridwan HR., 2011:235)
Selain itu, berdasarkan Pasal 169 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden, poin 18 menyebutkan : "Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat."
Pasal 227 UU Pemilu menyebutkan Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan (poin 12 menyebutkan) : "bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah,"
Pemerintah sebagai penyelenggara kepentingan umum yang kredibel dan legitimate (AAUPB), dalam meningkatkan derajat kesejahteraan setinggi-tingginya bagi semua rakyat, wajib menjalankan hukum dan konstitusi dengan sebaik-baiknya. Pemerintah dipilih oleh rakyat untuk mengurus dan melayani rakyat (menyelenggarakan pelayanan publik), dan untuk menyelenggarakan pekerjaan/'jasa' itu pemerintah telah dibayar oleh rakyat melalui berbagai pajak dan diberikan wewenang untuk mengelola 'bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya' (Pasal 33:3 UUD 1945).
Mengikuti uraian dan alur logika di atas, dalam perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dapat dikatakan bahwa rakyat adalah "konsumen" dan negara/pemerintah dapat dikategorikan sebagai "pelaku usaha". Dan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha tidak akan pernah equal atau sejajar. Apalagi kedudukan negara/pemerintah dengan rakyat, sementara Presiden Prabowo mengakui bahwa kebijakan pemerintahannya baru mencapai angka 6 dari 10.
Pasca 20 April 2025, nasib konsumen Indonesia diharapkan bisa lebih baik, diantaranya Presiden Prabowo harus dapat memulihkan kepercayaan rakyat lewat Reshuffle Kabinet, dengan memilih menteri yang benar-benar siap mengabdi kepada negeri, betul-betul akan melayani rakyat dan dalam satu komando, dengan demikian nasib konsumen Indonesia ke depan akan lebih baik. Selamat Hari Konsumen Nasional, selamat Hari Kartini 21 April, "Habis Gelap Terbitlah Terang" (tanpa 'Matahari Kembar'). [*]
*) Penulis : Dr. Firman Turmantara End, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)