Dampak Kebijakan Penarikan Kendaraan Fidusia Konsumen Saat Resesi
By Dr. Firman T. Endipradja
PRAKTIK penarikan kendaraan bermotor (termasuk kendaraan transportasi online) oleh petugas dari beberapa perusahaan pembiayaan (leasing), masih terjadi di tengah pandemi dan memasuki resesi saat ini, padahal ada beberapa aturan yang secara tegas mengatur hal ini. Dengan kata lain praktik itu adalah ilegal (melanggar aturan).
Di sisi lain, kondisi resesi sudah dirasakan sejak pandemi merebak di Indonesia, dimana penghasilan masyarakat menurun drastis, termasuk imbasnya terhadap kewajiban masyarakat sebagai konsumen (menunggak) membayar cicilan kendaraan. Dalam perspektif hukum, situasi dan kondisi seperti ini, dapat dikategorikan sebagai force majeure (keadaan yang terjadi di luar kemampuan manusia)
Terkait dengan masalah konsumen menunggak angsuran kredit mobil/motor, masih banyak leasing yang melakukan penagihan ke rumah-rumah. Bahkan, ada beberapa leasing yang menyuruh debt collector-nya untuk langsung datang menagih ke rumah masyarakat.
Bahkan banyak pelaku usaha yang melaporkan konsumen kepada polisi dengan pasal penggelapan, dengan alasan konsumen sengaja tidak mau menghadirkan kendaraan, karena kuatir kendaraannya diambil/ditarik. Hal ini menyebabkan keresahan konsumen/masyarakat di tengah wabah virus corona.
Dalam keadaan seperti ini, Penjelasan Umum UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), menyebutkan : "Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen."
Sehubungan dengan hal itu, ketentuan Pasal 4 angka 5 UUPK, menyebutkan bahwa hak konsumen adalah "hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut". Untuk itu, konsumen bisa meminta perlindungan, (mengadukan/menguasakan) kepada LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) tentang masalah kredit/cicilan macet ini.
LPKSM adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Ketentuan Pasal 44 UUPK menyebutkan : "Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat. LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Ada sepuluh hal terkait masalah ini, konsumen dan LPKSM dapat berkoordinasi dengan pihak kepolisian (Polres).
1. Hubungan hukum antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan (leasing) adalah hubungan keperdataan/perjanjian, hal ini dapat dilihat dari adanya Perjanjian Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang dibuat antara Konsumen dengan Perusahaan Pembiayaan.
2. Konsekuensi hukum dari hubungan keperdataan (perjanjian), apabila salah satu pihak ingkar janji, maka mekanismenya pihak lain dapat menggugat ke pengadilan.
3. Penyitaan/pengambilan secara paksa kendaraan objek leasing oleh debt collector adalah ranah pidana.
4. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pihak leasing atau debt collector tidak boleh menarik atau menyita sembarang kendaraan nasabah meski gagal bayar. Keputusan ini tertuang dalam putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang di rilis per 6 Januari 2020.
5. Pada amar putusan nomor 2 Putusan MK tersebut dinyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
6. Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan konsumen keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi kendaraan harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
7. Jika konsumen keberatan kendaraannya diambil meski wanprestasi, maka pihak leasing tidak boleh mengambil paksa.
8. Perusahaan pembiayaan/leasing boleh mengambil kendaraan jika sudah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
9. Masyarakat/konsumen yang akan ditarik kendaraannya mempunyai hak untuk menanyakan pada petugas tersebut mengenai : (1) kartu identitas, (2) surat tugas penarikan kendaraan, (3) sertifikat asli leasing kendaraan yang sudah didaftarkan di Kemenkumham, dan (4) surat perjanjian kerjasama antara perusahaan eksternal dengan perusahaan pembiayaan/leasing.
10. Sesuai Peraturan Kepala Polri (Perkap) No.8 Tahun 2011, eksekusi penarikan kendaraan bermotor harus didampingi oleh pihak kepolisian.
Sehubungan dengan masalah ini, SURAT EDARAN Kabareskrim No.Pol : B/2110/VIII/2009/tertanggal 31 Agustus 2009 yang ditanda-tangani oleh Kabareskrim Polri, Komjen Drs Susno Duadji., S.H.,M.H., M.Sc Tentang Prosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen.
Surat ini memuat 2 pokok yang harus diikuti oleh penyidik Polri di seluruh Indonesia : (1). Pelaporan yang dilakukan oleh debitur atas ditariknya unit jaminan oleh lembaga finance ketika debitur wanprestasi, tidak boleh diproses oleh penyidik Polri dengan pasal-pasal pencurian, perampasan dan lain sebagainya. (2). Pelaporan yang dilakukan oleh lembaga finance ketika mengetahui debiturnya melakukan pengalihan unit jaminan, tidak boleh diproses oleh penyidik Polri dengan pasal-pasal penggelapan dan lain-lain sebagainya.
Surat bareskrim ini mempertimbangkan KUHAP dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai bahan rujukan dikeluarkannya surat tersebut. Sehingga dengan demikian, menurut surat bareskrim tersebut, maka jika terjadi 2 persoalan di atas, penyidik harus menolak proses laporan dan menyarankan kepada pihak pelapor untuk menyelesaikannya di BPSK karena badan itulah yang berwenang melakukan penyelesaian sengketa konsumen.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengumumkan kebijakan keringanan pembayaran kredit dalam video conference di Istana Bogor (31/3/2020). Kepada tukang ojek, sopir taksi, serta nelayan yang sedang memiliki kredit motor atau mobil, Presiden mengatakan tidak perlu khawatir karena pembayaran bunga atau angsuran diberikan kelonggaran selama satu tahun.
Apabila dalam memperjuangkan hak, termasuk menerima keluhan atau pengaduan dari konsumen, kesepuluh hal di atas tidak efektif/tidak mendapat tanggapan, maka LPKSM atau konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, yakni badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen, yang bertanggung jawab kepada Presiden, yang mempunyai fungsi
memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan salah satu tugas BPKN yaitu mendorong berkembangnya LPKSM, baik keberadaan/eksistensi kelembagaan maupun perannya bagi masyarakat. Untuk itu atas dasar laporan dari LPKSM/konsumen, BPKN memiliki kewenangan untuk mengundang kementerian/lembaga terkait, diantaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Menteri Hukum dan Ham dan Kepolisian.
*) Komisioner BPKN RI Periode 2020-2023/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.
Bandung, 3 Oktober 2020