Pasca Putusan MA, Pengembalian Uang Iuran BPJS Kesehatan Soal Ketaatan Terhadap Hukum
Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan (dok/lk) |
Bandung l lingkarkonsumen.com - Direktur LBH Konsumen Indonesia, DR. Firman Turmantara Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum, menyikapi putusan Mahkamah Agung [MA] tentang pembatalan Perpres nomor 75 tahun 2019 atas perubahan Perpres nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
Menurutnya pasca keputusan MA ada beberapa rekan yang bertanya, apakah uang iuran peserta BPJS Kesehatan yang sudah terlanjur dinaikan dan dibayarkan untuk bulan Januari dan Februari 2020, bisa dikembalikan ?
Tentunya apabila pemerintah konsisten terhadap konsep Equality Before the Law dan Rule of Law, putusan MA itu wajib dilaksanakan. Pemerintah, BPJS Kesehatan harus mulai menyusun konsep bagaimana teknis pengembalian uang masyarakat itu melalui dibuatnya regulasi, tupoksi agar aparat dilapangan tidak kebingungan dan bagi konsumen sendiri ada kepastian hukum.
Prinsipnya jangan sampai hak-hak konsumen yang sudah bayar iuran dikurangi, dirugikan. Namun sebaliknya apabila pemerintah arogan, otoriter dan sewenang-wenang tentunya putusan MA itu akan diabaikan, ujar Dr. Firman, Senin (9/3/2020) pada lingkarkonsumen.com.
Sebagaimana masyarakat umum ketahui bahwa negara kita adalah negara hukum rechtsstaat atau rule of law, yang bertujuan untuk membatasi penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya.
Doktrin rechtsstaat atau rule of law hanya bisa tumbuh di negara yang menganut demokrasi. Tanpa negara hukum dan demokrasi yang hadir hanyalah paham totaliter, fasis, absolut dan represif. Politik jadi panglima dimana hukum menjadi alat mempertahankan kekuasasaan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Wujud seperti inilah yang dinamakan negara kekuasaan (machtsstaat), ungkapnya.
Sebetulnya pembuat (arsitek) "Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan", harus malu sampai MA membatalkan hasil kerjanya (Maaf, termasuk juga Presiden seharusnya malu, karena yang menandatangani produk hukum ini adalah Presiden). Artinya, tidak sedikit peraturan presiden yang bertolakbelakang dengan kondisi dan aspirasi masyarakat (melanggar aspek sosiologis dan aspek filosofis), meskipun dari aspek yuridis sudah benar.
Dengan dibatalkannya Peraturan Presiden ini, ternyata bahwa konstruksi hukum kita sudah terbalik-balik alias "crowded" (krodit). Konsep Omnibus Law juga sudah melenceng dari makna sesungguhnya.
Konstitusi dilabrak, Hukum lingkungan dan tata ruang, hukum pertanahan diterabas, label halal akan dihilangkan, sanksi pidana bagi pelaku usaha akan dihilangkan, hak- hak buruh dilanggar, kebebasan pers terusik, hak adat dan lain-lain.
Dibuatnya peraturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik, sementara pelayanan publik sudah diamanatkan oleh UUD 1945 dan diatur oleh UU No.25 tahun 2009.
Sepertinya saat ini ada pemikiran bahwa yang penting produk hukum dibuat dulu, urusan belakangan. Nantinya jika ada gugatan dari masyarakat adalah tidak penting karena sudah ada mekanismenya. Pikiran ini sepertinya menunjukan mengesampingkan aspek profesionalisme.
Sistem dan konstruksi hukum jadi amburadul. Harapan kita, semoga kondisi ketidak pastian dan kekacauan hukum ini segera berakhir dan kembali kepada mekanisme dan 'rotasi hukum' yang sudah tertuang dalam konstitusi, keluh Dr. Firman.
By : Djunaedy