BPKN RI Harus Pastikan Omnibus Law Lindungi Konsumen
☆Oleh: Firman Turmantara Endipradja
Firman Tumantara |
Dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024, Presiden Joko Widodo menyinggung akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Melalui Omnibus Law, akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang.
Ada dua Undang-undang (UU) besar yang rencananya akan digodog dengan DPR, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Omnibus Law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara dan mungkin mencabut atau mengubah beberapa UU.
Persoalannya adalah dengan terbentuknya model UU baru ini diharapkan tidak ada pihak lain yang dirugikan, seperti eksesnya terhadap konsumen. Dalam perspektif Hukum Perlindungan Konsumen (UU Nomor: 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 8/99), dalam bidang usaha/bisnis diatur adanya dua pihak yaitu pelaku usaha dan konsumen.
Konsideran UUPK menyebutkan,
pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
Untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen, pemerintah membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI) yang berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam menjalankan fungsinya, BPKN mempunyai tugas antara lain memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
Melihat tugas di atas, tampaknya BPKN perlu terlibat dalam melakukan pembahasan terhadap penyusunan draf Omnibus Law. BPKN harus memastikan substansi yang masuk dalam Omnibus Law berdampak positif terhadap perlindungan konsumen.
BPKN perlu turut mengkaji dampak Omnibus Law terhadap perlindungan konsumen, karena setiap orang adalah konsumen, termasuk pelaku usaha sendiri. dengan kata lain, konsumen adalah seluruh rakyat Indonesia.
Undang-undang Omnibus Law ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah. Selain itu, di samping menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran, juga dari segi konsistensi dan kerapihan pengaturan, termasuk prosedur juga lebih bisa sederhana dan tepat sasaran.
Untuk itu, BPKN perlu membentuk tim untuk terlibat melakukan kajian secara objektif terhadap substansi yang akan masuk dalam Omnibus Law terkait perlindungan konsumen.
Momentum pembahasan Omnibus Law merupakan kesempatan emas bagi konsumen (lewat BPKN, melalui rekomendasi kepada pemerintah) untuk memberikan masukan agar tidak ada ketentuan yang melanggar hak-hak konsumen/merugikan atau membebani konsumen.
Selain itu, Omnibus Law yang akan dibentuk ini juga diharapkan akan memperkuat posisi UUPK sebagai UU Payung sesuai dengan apa yang tercantum dalam alinea terakhir Penjelasan Umum UUPK yang menyebutkan bahwa, "Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen."
Kesempatan ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena untuk revisi UUPK membutuhkan prosedur dan waktu yang lama. Buktinya draf perubahan UUPK yang sudah disampaikan sejak 2005 sampai saat ini belum masuk prolegnas.
Ada beberapa hal penting dipertimbangkan oleh BPKN untuk masukan Omnibus Law, antara lain menyangkut pajak (terutama pajak penghasilan/PPh). Sementara ini ada kecenderungan pelaku usaha membebankan pajaknya ke konsumen.
Perlu ada pengaturan yang berbeda antara pelaku usaha menengah/besar dengan UMKM, juga antara jenis-jenis pelaku usaha, seperti perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. (vide Penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK). Pengaturan di UUPK tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha saat ini semua dianggap sama. Jelas, ini menghambat tumbuhnya UKM dan sekaligus melanggar hak-hak perlindungan konsumen.
Hal lain adalah harus ada integrasi konsep tentang perlindungan konsumen dalam Omnibus Law, yang selama ini berbeda antar tiap kementerian dan lembaga (K/L), pusat maupun daerah.
Perlu pemahaman yang sama antara pemerintah dengan DPR tentang perlindungan konsumen, agar jangan sampai ada ketentuan dalam Omnibus Law yang melanggar hak-hak konsumen.
Perlu dipertimbangkan kembali rencana penghilangan sanksi pidana bagi pelaku usaha, karena pelaku usaha yang melakukan kejahatan tidak cukup hanya dikenakan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Selain itu, menghilangkan sanksi pidana adalah melanggar hak konsumen untuk menuntut pelaku usaha yang melakukan kejahatan sesuai dengan pengaturan dalam UUPK.
Harapan masyarakat sebagai konsumen, jangan sampai Omnibus Law yang akan dihasilkan hanya memperhatikan kepentingan pelaku usaha dengan mengabaikan hak-hak konsumen/perlindungan konsumen.
Omnibus Law harus dipastikan memberi kemudahan dan manfaat yang sama baik terhadap pelaku usaha maupun konsumen. Idealnya Omnibus Law yang dihasilkan nanti betul-betul bermanfaat untuk kepentingan ekonomi nasional, termasuk kepentingan pelaku usaha dan konsumen.
☆ DR. Firman Turmantara Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum.
▪︎ Dosen Hukum Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik Pascasarjana Univ. Pasundan.
▪︎ Direktur LBH Konsumen Indonesia.