Sanksi Terhadap Penunggak BPJS Kesehatan Tidak Adil dan Melanggar Konstitusi
☆ Oleh : Firman Turmantara Endipradja
Kebijakan penerapan sanksi administratif bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan ini tidak bisa diterima akal sehat, karena dari aspek yuridis ada beberapa Undang-undang (paling tidak ada 7 UU) dan peraturan pemerintah yang dilanggar, yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 40 Th 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS; UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan mengenai asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB); dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal.
Bahkan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik, juga dilanggar.
Dari aspek filosofis, penerapan kebijakan ini dapat dianggap sebagai persoalan ketidakadilan, dikarenakan masih ada hal yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, adanya sanksi administratif yaitu tidak mendapat pelayanan publik dan kenaikan iuran, di sisi lain soal belum baiknya kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Persoalan ketidakadilan inilah yang masih menjadi masalah krusial BPJS Kesehatan saat ini.
Sementara dari aspek sosiologis, BPJS Kesehatan merupakan pilihan utama rakyat Indonesia dalam menjaga/memelihara kesehatannya. Dan dari aspek kepastian hukum, dapat dilihat dari belum adanya kejelasan layanan seperti penyakit dan obat apa saja yang sebenarnya ditanggung oleh BPJS. Tidak ada aturan pasti dari BPJS yang menjelaskan itu, sedangkan Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen itu dengan jelas mengatur bahwa dalam perlindungan konsumen harus ada kepastian hukum.
Penerapan kebijakan ini seolah-olah ada unsur paksaan untuk jadi peserta BPJS. Padahal kalau seseorang memutuskan tidak ikut keanggotaan BPJS, itu adalah hak asasi tetapi kenapa harus dipersulit mengurus STNK, SIM dan lain-lain.
Sanksi layanan publik tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif.
Namun demikian akan dibentuk juga regulasi untuk sanksi pelayanan publik melalui instruksi presiden. Pelaksanaan sanksi layanan publik tersebut akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.
Negara kita menganut sistem hukum khierarki, oleh karenanya sanksi dalam PP Nomor 86 Tahun 2013, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) serta Inpres yang akan dibentuk itu, telah melanggar peraturan yang lebih tinggi bahkan melanggar konstitusi.
Kebijakan penerapan sanksi terkait pelayanan publik ini dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021, yang menurut Sri Mulyani, tahun ini BPJS Kesehatan defisit Rp 32,8 Triliun.
Namun pemerintah perlu mengkaji penerapan kebijakan ini dan juga rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Sebab, kenaikan yang drastis akan berdampak secara sosial dan ekonomi serta dapat menimbulkan gejolak baru di masyarakat.
Pengenaan sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan sah-sah saja, tapi dalam penentuan kebijakan tersebut seharusnya pemerintah dan BPJS mencari cara yang lebih mendidik, inovatif, manusiawi dan tidak melanggar undang-undang.
Oleh karena itu kebijakan ini dapat dikatakan sebagai kebijakan yang tidak adil, tidak manusiawi dan melanggar konstitusi. Pemerintah bersama BPJS Kesehatan masih memiliki pilihan lain untuk memberikan sanksi kepada penunggak iuran BPJS yang lebih mendidik dan manusiawi serta tidak melanggar hukum. Dengan kata lain kebijakan ini tidak harus bersifat arogan dan otoriter/menonjolkan kekuasaan.
☆ Dr. Firman Turmantara Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum.
▪︎ Dosen Hukum Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan.
▪︎Ketua Asosiasi BPSK Jawa Barat.
▪︎Ketua HLKI Jabar Banten DKI Jkt.
▪︎Direktur LBH Konsumen Indonesia.