Mengukur Sensifitas Dan Logika Hukum BPJS Kesehatan
*Oleh : DR. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum.
Rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan segera direalisasikan. Hal ini sudah dibahas dalam rapat gabungan Komisi IX dan XI DPR RI, Senin (2/9/2019) kemarin.
Penerapan kenaikan iuran sudah pasti akan dilaksanakan, tinggal menunggu Perpres. Jika Perpres ditandatangan Presiden, maka usulan skema kenaikan mulai berlaku sesuai jadwal kenaikan tiap kelas.
Persoalannya adalah apakah kebijakan ini sudah tepat, apakah akibat salahurus (manajemen hukum) harus keluar Perpres tentang kenaikan iuran yang membebani masyarakat.
Kita dapat melihat bukti buruknya manajemen BPJS Kesehatan adalah soal tidak adanya koordinasi dengan Kementerian Sosial mengenai masih terdapat peserta JKN yang masih bermasalah. Status mereka belum jelas apakah masuk dalam kategori mampu atau miskin.
Kesalahan lainnya adalah mengenai penggunaan dana BPJS Kesehatan yang di investasikan, dan imbasnya kemana-mana yang akhirnya untuk menutupi defisit iuran dinaikan, sementara pelayanan kesehatan kepada masyarakat masih jauh dari memadai dan masih banyak masalah, seperti antrian panjang, pelayanan dengan sistem zonasi, perilaku diskriminasi bagi pengguna BPJS, tidak adanya kepastian mengenai masalah obat dan penyakit apa yang bisa di cover BPJS.
Karena defisit, di tahun 2019 ini defisit BPJS Kesehatan bisa di atas Rp 16,5 triliun (tiap tahun BPJS Kesehatan defisit dan defisit bisa mencapai Rp 1 triliun per bulan), maka terjadilah tunggakan-tunggakan, seperti tunggakan BPJS Kesehatan ke Kalbe Farma yang mencapai Rp. 300 miliar dan lain lain.
Yang mengusik logika dan rasa keadilan adalah di satu sisi anggaran defisit puluhan triliun, namun di sisi lain tunjangan direksi BPJS Kesehatan dinaikan dan ironisnya sekarang masyarakat malah akan dibebani iuran.
Karena buruknya manajemen BPJS Kesehatan tidak logis dan tidak adil jika harus dibebankan ke masyarakat melalui kenaikan iuran, maka rencana pemerintah untuk menaikkan premi JKN untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III harus ditolak.
Dalam logika hukum kebijakan pemerintah dalam menangani masalah BPJS Kesehatan ini (khususnya terkait kenaikan gaji pimpinan BPJS lewat Permenkeu No.112/PMK.02/2019 tanggal 1 Agustus 2019, dan kenaikan iuran BPJS lewat Perpres), telah bersebrangan dengan hukum/asas hierarki ( Lex superior derogat legi inferior) dan melanggar rasa keadilan.
Kondisi dan kebijakan BPJS Kesehatan di atas, terbukti telah melanggar sejumlah undang-undang, seperti Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Tatacara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan; Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN; Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS; Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN; Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi WTO dan Pasal 1320 KUHPerdata, Selain itu Perpres Nomor 50 tahun 20017 menegaskan bahwa kesehatan merupakan salah satu bidang prioritas perlindungan konsumen yang wajib diperhatikan.
Terlebih dalam Pembukaan UUD 1945 diamanatkan bahwa kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Untuk menanggulangi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan pemerintah diharapkan mencari cara lain yang lebih sensitif terhadap kondisi masyarakat dan tidak blunder.
Saat listrik padam di jawa dan bali beberapa waktu lalu, presiden sempat marah bahwa PLN tidak becus dan perlu tindakan lebih keras. Nah, apakah dengan manajamen seperti ini BPJS Kesehatan masih dianggap becus dan tidak perlu tindakan lebih keras, sehingga perlu dinaikan gajihnya yang bisa mencapai Rp.300 juta per bulan ?
Tampaknya pemerintah akan tetap menaikan iuran meski di tolak DPR dan belum tentu penyelenggaraan pelayanan kesehatan akan lebih baik. Inikah wujud kebijakan yang melanggar konsitusi (inkonstitusional), yang di jaman orde baru pelanggaran konstitusi dianggap sebagai hantu yang sangat ditakutkan.
*DR. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum.
- Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Univ. Pasundan.
- Ketua Asosiasi BPSK Jawa Barat.
- Ketua HLKI Jabar Banten DKI Jakarta.