Wow… Pecahkan Rekor Dunia, Masak Nasi Liwet Satu Ton
Bangkalan l lingkarkonsumen.com - Memasak dan menyantap nasi liwet sebanyak satu ton beras secara bersamaan oleh 2.028 santri Pondok Pesantren (Ponpes) Syaichona Cholil di halaman Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syaichona Cholil, di Kelurahan Demangan, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Madura, berhasil mencetak rekor dunia menurut Museum Rekor Indonesia (Muri), Minggu (1/4).
Memasak dan menyantap nasi secara bersamaan dengan lauk pauk seadanya bagi santri ponpes sudah jamak dan suasana kekeluargaan seperti itu selalu dikenang dan dirindukan para santri.
“Museum Rekor Indonesia (Muri) mencatat kegiatan memasak nasi ala pondok pesantren (ponpes) oleh 2.028 santri itu sebagai rekor ke 8.379. Dan ini merupakan memasak nasi liwet oleh santri ini yang terbanyak dan baru pertama kali. Makanya kami catat sebagai rekor dunia, bukan hanya nasional,” ujar Eksekutif Manajer Muri Sri Widayati ketika menyaksikan langsung di Ponpes Syaichona Cholil, Minggu siang.
Ia sengaja datang setelah mendapat informasi kegiatan memasak nasi liwet secara massal itu merupakan salah satu rangkaian acara di hari terakhir Musyawarah Besar (Mubes) I Alumni dan Simpatisan Ponpes Syaichona Cholil sejak Sabtu (31/3) dan berakhir Minggu sore.
Sementara itu, Ketua Mubes I Alumni dan Simpatisan Syaichona Cholil, KH Nasih Aschal mengungkapkan, menanak beras secara massal itu merupakan media silaturahmi para alumni, santri, dan simpatisan ponpes.
“Ini untuk menjalin silaturahmi sebagai semangat pengabdian para masyayikh, ulama, dan kiai akan kembali terpatri semakin menguat. “Melalui media ini, kami bisa tetap dalam satu barisan untuk membendung upaya-upaya memecah bangsa dan NKRI,” ujar Ra Nasih, panggilan akrab KH Nasih Aschal.
Sementara itu satu ton beras tersebut tidak dimasak secara sekaligus namun menggunakan 2.028 panci dan setiap panci rata-rata memasak seberat 0,5 kilogram beras. Selain ribuan panci, panitia juga menyediakan cobek dan ulek sebanyak jumlah panci yang ada.
Telur, tempe, cabai dan terong menghiasi cobek yang diletakkan di samping panci. Adapun pengapiannya menggunakan kayu bakar dan ditata rapi di bawah tungku. Perlengkapan-perlengkapan sederhana untuk memasak itu biasa digunakan para santri.
Kegiatan tersebut menjadi tontonan masyarakat dan keluarga para santri maupun para alumni yang datang sejak pagi. Sebagai penutup, semua santri, alumni, dan simpatisan makan bersama beralas kertas pembungkus nasi.
Salah seorang alumnus santriwati dari Kepanjen, Kabupaten Malang, Chusnulimah (33) bersama rekannya, Ina Masyruroh (31) dari Kedungkandang, Kota Malang yang ikut kegiatan itu mengaku gembira karena hal itu mengingatkan mereka masa-masa tinggal di ponpes.
“Lauk seadanya itu merupakan menu kami sehari-hari. Kalau bosan ditambah ikan asin. Atau hanya nasi, mi instan, dan kerupuk,” ujar Chusnul yang kini sudah memiliki suami dan dua orang anak yang ikut dibawanya menonton kegiatan itu.
Dari balik kegiatan massal itu, Chusnul mengaku memetik pelajaran memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Karena selain belajar dan mengaji, setiap hari adalah memasak nasi liwet dan makan bersama. Nasi liwet itu lebih lembut dibanding nasi biasa karena sekaligus irit beras, ujar santriwati di pertengahan 1990-an itu.(B1)
Memasak dan menyantap nasi secara bersamaan dengan lauk pauk seadanya bagi santri ponpes sudah jamak dan suasana kekeluargaan seperti itu selalu dikenang dan dirindukan para santri.
“Museum Rekor Indonesia (Muri) mencatat kegiatan memasak nasi ala pondok pesantren (ponpes) oleh 2.028 santri itu sebagai rekor ke 8.379. Dan ini merupakan memasak nasi liwet oleh santri ini yang terbanyak dan baru pertama kali. Makanya kami catat sebagai rekor dunia, bukan hanya nasional,” ujar Eksekutif Manajer Muri Sri Widayati ketika menyaksikan langsung di Ponpes Syaichona Cholil, Minggu siang.
Ia sengaja datang setelah mendapat informasi kegiatan memasak nasi liwet secara massal itu merupakan salah satu rangkaian acara di hari terakhir Musyawarah Besar (Mubes) I Alumni dan Simpatisan Ponpes Syaichona Cholil sejak Sabtu (31/3) dan berakhir Minggu sore.
Sementara itu, Ketua Mubes I Alumni dan Simpatisan Syaichona Cholil, KH Nasih Aschal mengungkapkan, menanak beras secara massal itu merupakan media silaturahmi para alumni, santri, dan simpatisan ponpes.
“Ini untuk menjalin silaturahmi sebagai semangat pengabdian para masyayikh, ulama, dan kiai akan kembali terpatri semakin menguat. “Melalui media ini, kami bisa tetap dalam satu barisan untuk membendung upaya-upaya memecah bangsa dan NKRI,” ujar Ra Nasih, panggilan akrab KH Nasih Aschal.
Sementara itu satu ton beras tersebut tidak dimasak secara sekaligus namun menggunakan 2.028 panci dan setiap panci rata-rata memasak seberat 0,5 kilogram beras. Selain ribuan panci, panitia juga menyediakan cobek dan ulek sebanyak jumlah panci yang ada.
Telur, tempe, cabai dan terong menghiasi cobek yang diletakkan di samping panci. Adapun pengapiannya menggunakan kayu bakar dan ditata rapi di bawah tungku. Perlengkapan-perlengkapan sederhana untuk memasak itu biasa digunakan para santri.
Kegiatan tersebut menjadi tontonan masyarakat dan keluarga para santri maupun para alumni yang datang sejak pagi. Sebagai penutup, semua santri, alumni, dan simpatisan makan bersama beralas kertas pembungkus nasi.
Salah seorang alumnus santriwati dari Kepanjen, Kabupaten Malang, Chusnulimah (33) bersama rekannya, Ina Masyruroh (31) dari Kedungkandang, Kota Malang yang ikut kegiatan itu mengaku gembira karena hal itu mengingatkan mereka masa-masa tinggal di ponpes.
“Lauk seadanya itu merupakan menu kami sehari-hari. Kalau bosan ditambah ikan asin. Atau hanya nasi, mi instan, dan kerupuk,” ujar Chusnul yang kini sudah memiliki suami dan dua orang anak yang ikut dibawanya menonton kegiatan itu.
Dari balik kegiatan massal itu, Chusnul mengaku memetik pelajaran memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Karena selain belajar dan mengaji, setiap hari adalah memasak nasi liwet dan makan bersama. Nasi liwet itu lebih lembut dibanding nasi biasa karena sekaligus irit beras, ujar santriwati di pertengahan 1990-an itu.(B1)
By : Victor
Sumber : Suara Pembaruan