Banyaknya Pengaduan Konsumen, Karena Lemahnya Kesadaran Hukum Pelaku Usaha
* Dr. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum.
Bandung, 17 Desember 2017
Salah satu faktor utama yang menjadi penyebab nasib konsumen terpuruk selama 18 tahun, sejak lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sampai saat ini, karena tingkat kesadaran pelaku usaha akan kewajibannya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya ketaatan pelaku usaha terhadap hukum.
Memang tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, selain karena adanya kompetisi yang sangat ketat, juga pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keterpurukan nasib konsumen itu dpt dilihat dari angka pengaduan, laporan dan sengketa konsumen yang masuk ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) cukup tinggi.
Sebagai contoh, angka pengaduan, laporan dan sengketa konsumen perusahaan pembiayaan :leasing, perbankan, dan asuransi, termasuk 3 besar laporan tertinggi, sementara peraturan untuk ketiga bidang ini cukup lengkap, baik yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, maupun oleh OJK. Seperti Peraturan OJK yang dikeluarkan sejak 2013 (POJK 1/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan) sejak 6 Agustus 2014 sampai saat ini (2017 sudah 4 tahun), masih saja dilanggar oleh Pelaku Usaha Jasa Keuanga (PUJK). Padahal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) ini sudah memberikan batasan waktu kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan/PUJK untuk menyesuaikan Perjanjian Baku nya selambat-lambatnya pada Agustus 2014.
Seperti yang disebutkan dalam Penjelasan UUPK : Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Namun sampai saat ini masih cukup banyak PUJK (terutama bank, leasing/perusahaan pembiayaan dan perusahaan asuransi) yang tidak menyesuaikan Perjanjian Baku nya dengan POJK Nomor : 1 tahun 2013 dan Surat Edaran SE OJK Nomor : 13 tahun 2014 tentang Perjanjian Baku, selain pelanggaran mengenai Penawaran melalui alat elektronik dan keamanan informasi/Data Pribadi Konsumen.
Bahkan cukup banyak konsumen yang tidak diberikan/tidak menerima salinan Perjanjian Baku tersebut. Hal ini bisa dicek langsung pada ketiga PUJK tersebut atau ditanyakan kepada konsumen dari ketiga PUJK tersebut.
Dengan kata lain fenomena pelanggaran "berjamaah" ini sangat berkorelasi/signifikan dengan tingginya angka pengaduan konsumen.
Jadi tidak heran apabila sampai saat ini masih terjadi penarikan unit kendaraan di jalan oleh oknum debt collector perusahaan pembiayaan/leasing, karena tindakan penarikan tersebut ada dasar hukumnya yaitu tertuang dalam klausul yang ada dalam perjanjian (Perjanjian Baku), akan tetapi klausula tersebut secara tegas dilarang oleh peraturan perundang-undangan baik oleh POJK Nomor : 1 tahun 2013 pasal 21-22, SEOJK Nomor 13 tahun 2014 maupun dalam UUPK Pasal 18, yang sanksinya bisa dikenakan pidana, perdata maupun administrasi.
Jika mengacu pada amanat Perpres Nomor : 50 tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (STRANAS PK), yang diundangkan 8 Mei 2017, maka sektor jasa keuangan (perbankan, perusahaan pembiayaan dan asuransi) tersebut termasuk sembilan sektor prioritas yang sudah harus tercapai dalam tiga tahun ke depan tahun 2019. Untuk itulah kunci utamanya adalah sejak saat ini Pengawasan dan Penegakan Hukum harus segera dioptimalkan.
*Dr. Firman Turmantara E, S.H., S.Sos., M.Hum. Dosen Hukum Bisnis dan Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan; Direktur LBH KONSUMEN INDONESIA