Implementasi RTRW Nasional Akan Kurangi Konflik di Pertambangan dan Perkebunan
Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, konflik yang sering terjadi seperti di wilayah pertambangan dan perkebunan akibat belum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara nasional sehingga Gubernur dan Bupati mengeluarkan izin pertambangan, perkebunan , kawasan industri dan perumahan dilakukan secara sembarangan.
Praktik tersebut tidak terlepas dari dampak proses politik dalam pilkada langsung yang telah menghabiskan dana besar bagi Gubernur dan Bupati terpilih.
Hal ini tergambar dari banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi di KPK dan Kejaksaan .
“Karena pilkada membutuhkan dana besar sehingga begitu menjabat akan mengeluarkan izin-izin yang tentunya akan terjadi tumpang tindih antara izin kebun dengan izin wilayah tambang dan wilayah kehutanan dengan tanah masyarakat , belum lagi masyarakat yang sudah turun temurun tinggal di kawasan hutan dan merekapun tidak pernah tahu bahwa itu masuk kawasan hutan,” kata Yusri kepada Investor Daily di Jakarta, Sabtu (27/5).
Dia mengatakan, pengusaha yang ‘nakal’ selalu memanfaatkan potensi ini dengan melakukan KKN dengan Bupati / Gubernur serta oknum aparat penegak hukum dan oknum BPN.
“Itulah yg dikenal mafia tanah dan mafia tambang , kemudian karena tidak taatnya pada hukum , pengusaha tambang juga semberono menambang yang penting dapat profit besar tanpa mengikuti kaidah-kaidah aturan yang benar dalam mengelola tambang berupa reklamasi paskatambang ,” ujarnya.
Akibat penambangan yang dilakukan secara tidak benar , lanjut dia, banyak ditemukan lubang-lubang besar hasil tambang seperti di Bangka dan kalimantan , Sulawesi dll yang telah banyak memakan korban manusia dan nyata merusak lingkungan sekitarnya .
Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembabatan hutan dan tambang menyebakan banjir bandang terjadi di berbagai daerah.
Padahal didalam aturan pertambangan dan pengelolaan hutan serta pengelolaan lingkungan hidup sudah diatur semua apa yang dilarang dan hukumannya.
Faktanya banyak terjadi pelanggaran secara masif. Hal ini bisa terjadi karena penegakan hukum lemah akibat budaya KKN.
Menurut dia, paradigma mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan harus diiringi penegakan hukum yang keras dan tegas. Namun banyak ditemukan hakim membebaskan pengusaha yang melanggar dalam kasus membakar.
IBCSD Perlu DiperkuatDia menilai, keberadan keberadaan Indonesia Business Council For Sustainabel Development (IBCSD) cukup baik , tetapi harus ada payung hukumnya.
Selain itu, lembaga IBCSD diberi kewenangan bisa merekomendasikan ke kementerian terkait untukk menindak bagi pengusaha yang tidak taat aturan berupa bisa ditindak lanjuti izin-izin dibekukan sementara sampai dengan pencabutan izinnya.
Upaya mendorong pembangunan berkelanjutan melalui pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, keseimbangan ekologi dan pertumbuhan sosial dilakukan oleh IBCSD yang merupakan asosiasi dari beberapa perusahaan yang beroperasi di Indonesia yang dipimpin oleh CEO.
IBCSD yang didirikan pada April 2011 dan saat ini memiliki 23 anggota melambangkan sebuah bab regional baru dari World Business Council for Sustainable Development (WBCSD).
Anggota pendiri IBCSD adalah 6 dari perusahaan besar Indonesia yaitu Bakrie Telecom, Bank Negara Indonesia, Medco Power Indonesia, Holcim Indonesia, Garuda Indonesia dan PT Riau Andalan Pulp Paper
“Kalau tidak ada payung hukumnya , maka proses edukasinya tidak banyak manfaat dalam ikut memberikan kontribusi bagi pengusaha dan masyarakatnya dalam menjalankan pengelolaan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Dalam situsi global, kata dia, pengusha harus selalu taat dalam pengelolaannya serta menyadari bahwa Indonesia bagian dari paru paru dunia.
“Jadi tidak boleh egois seenaknya merusak lingkungan dalam mengelola sumber daya alamnya , sehingga produk kita tdk di tolak masuk dinegara lain , seperti produk kayu hutan dan tanaman sawit yang sekarang banyak ditolak di negara-negara yang sangat ketat memberlakukan ketentuan soal lingkungan hidup,” ujarnya.
Pengusaha, kata dia, harus ikut bertanggung jawab soal adanya kesenjangan sosial ekonomi di setiap wilayah kerjanya dengan meningkatkan program CSR dan memaksimalkan penggunaan tenaga kerja lokal serta bekerja dengan memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
“Alam dan manusia adalah suatu ekosistem yang saling terkait dan harus selalu dijaga keseimbangannya dengan pelestarian ekosistemnya sehingga dapat menghindari potensi konflik sosial akibat kesenjangan ekonomi dengan masyarakat tempatan,” tambahnya.
Sumber : Investor Daily